Kerangka Dasar Ajaran Islam
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Dewasa ini, banyak sekali permasalahan-permasalahan fundamental yang terjadi dalam praktek ibadah seorang muslim. Salah satu permasalahan fundamental yang kian menjamur adalah menyangkut praktek dasar ajaran Islam. Dasar ajaran Islam yang terdiri dari aqidah, syari‟ah, dan akhlak sering sekali dilupakan keterkaitannya. Contohnya: seseorang melaksanakan shalat, berarti dia melakukan syari‟ah. Tetapi shalat itu dilakukannya untuk membuat kagum orang-orang di sekitarnya, berarti dia tidak melaksanakan aqidah. Karena shalat itu dilakukannya bukan karena Allah SWT, maka shalat itu tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri ataupun orang lain. Alhasil, dia tidak mendapatkan manfaat pada akhlaknya. Itulah yang menjadikan suatu perbuatan yang seharusnya mendapat ganjaran pahala, tapi malah menjadi suatu kesia-siaan karena tidak dilakukan semata-mata karena Allah. Dengan penyusunan makalah ini, penulis berharap dapat menegaskan kembali mengenai kerangka dasar ajaran Islam yang terdiri dari: Aqidah, Syari‟ah, dan akhlak yang kian terlupakan.
B. Tujuan dan Manfaat
Tujuan penyusunan materi “Kerangka Dasar Ajaran Islam”, yaitu :
a. Menjelaskan dan menegaskan kembali mengenai kerangka dasar ajaran Islam yang terdiri dari: Aqidah, Syari‟ah, dan Akhlak yang kian terlupakan;
b. Menjelaskan mengenai ruang lingkup Aqidah, Syari‟ah, dan Akhlak dalam ajaran Islam dan kedudukannya dalam ajaran Islam.
Manfaat dari makalah “Kerangka Dasar Ajaran Islam”, yaitu:
a. Memahami dan mangkaji mengenai Aqidah, Syari‟ah, dan Akhlak dalam ajaran Islam;
b. Merefleksikan pemahaman yang didapat dalam kehidupan sehari-hari;
c. Memahami kekeliruan-kekeliruan menyangkut Aqidah, Syari‟ah, dan Akhlak untuk kemudian menjadi cermin untuk berintrospeksi diri
Pembahasan
A. Pengertian Kerangka Dasar Ajaran Islam
Kerangka dasar dapat diartikan sebagai garis besar suatu pembicaraan atau rute perjalanan yang akan ditempuh atau bagian-bagian pokok yang menyangga suatu bangunan (AS Hornby, 1987:804 dan John M. Echols dalam Hassan Shadily, 1987:255) Ajaran Islam ialah sekumpulan pesan ketuhanan yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW (571-632 M) untuk disampaikan kepada manusia sebagai petunjuk perjalanan hidupnya semenjak lahir hingga mati (Syaltout, 1983:25). Dengan demikian, pengertian kerangka dasar ajaran Islam adalah gambaran asli, garis besar, rute perjalanan, atau bagian pokok dari pesan ketuhanan yang disampaikan Nabi Muhammad SAW kepada manusia.
B. Klasifikasi Pokok Ajaran Islam
Mahmud Syaltout (1983) membagi pokok ajaran Islam menjadi dua, yaitu Aqidah (kepercayaan) dan Syari‟ah (kewajiban beragama sebagai konsekuensi percaya). Namun demikian, terdapat ulama lain yang membagi pokok ajaran Islam menjadi tiga, yaitu: iman (aqidah), Islam (syari‟ah), dan ihsan (akhlak). Pengklasifikasian pokok ajaran Islam ini didasarkan pada sebuah hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah, yaitu:
“Pada suatu hari ketika Nabi SAW bersama kaum muslimin, datang seorang pria menghampiri Nabi SAW dan bertanya, „Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan iman?‟ Nabi menjawab, „Kamu percaya pada Allah, para malaikat, kitab-kitab yang diturunkan Allah, hari
pertemuan dengan Allah, para rasul yang diutus Allah, dan terjadinya peristiwa kebangkitan manusia dari alam kubur untuk diminta pertanggungjawaban perbuatan oleh Allah‟. Pria itu bertanya lagi,‟Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan Islam?‟ Nabi menjawab, „Kamu melakukan ibadah pada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, mendirikan shalat fardhu, mengeluarkan harta zakat, dan berpuasa di bulan Ramadhan‟. Pria itu kembali bertanya, „Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud ihsan?‟ Nabi menjawab, „ Kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya. Apabila kamu tidak mampu melihatnya, yakinlah bahwa Allah melihat perbuatan ibadahmu‟...”(Al-Bayan, Kitab Iman, No.5) Ringkasnya, terdapat tiga bagian pokok ajaran Islam, yaitu :
a. Aqidah, berisi kepercayaan pada hal ghaib;
b. Syari‟ah, berisi perbuatan sebagai konsekuensi dari kepercayaan;
c. Akhlak, berisi dorongan hati untuk berbuat sebaik-baiknya meskipun tanpa pengawasan pihak lain, karena percaya Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui.
C. Hubungan Aqidah, Syari’ah, dan Akhlak dalam Perilaku Manusia
Tujuan ajaran Islam diberikan Allah kepada manusia adalah untuk mencapai keselamatan semenjak lahir hingga ajal menjemput, bahkan hingga bertemu dengan Dzat yang Maha Merajai Hari Pembalasan, Allah SWT. Allah menawarkan kepada kita jalan keselamatan hidup melalui lisan dan perbuatan para Nabi. Disini kita hanya tinggal memilih, mau mengikuti jalan keselamatan itu ataupun tidak.
Ajaran Islam menjamin keselamatan hidup manusia apabila manusia berpegang teguh kepada ajaran Allah tersebut dan berpegang teguh pada perjanjian dengan manusia, sebagaimana firman Allah:
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, [kecuali jika mereka berpegang teguh pada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia], dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir terhadap ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (Qs. Ali-Imran, 3:112) Berpegang teguh pada ajaran Allah merupakan aqidah. Berpegang teguh pada perjanjian dengan manusia adalah perwujudan akhlak. Aktivitas memegang teguh ajaran Allah dan perjanjian dengan manusia merupakan penerapan syari‟ah. Dengan kata lain, perbuatan (syari‟ah)yang didasari oleh kelurusan aqidah dan dampaknya adalah akhlak (kemanfaatannya dirasakan oleh manusia lain). Contohnya adalah shalat. Perbuatan shalat (syari‟ah) akan bermakna apabila didasari motivasi semata-mata karena Allah (aqidah) dan berdampak positif bagi perilaku orang yang melaksanakan shalat untuk digunakan dalam kehidupan bermasyarakat dengan orang lain (akhlak). Hubungan aqidah, syari‟ah, dan akhlak bila dianalogikan adalah seperti uang logam. Syari‟ah adalah uang logam itu sendiri yang memiliki dua sisi penunjang yaitu aqidah dan syariah. Uang logam tidak akan berguna tanpa kedua sisinya, begitupun dengan perbuatan manusia. Segala perbuatan (syari‟ah) akan bermakna bila dibarengi dengan tujuan yang jelas (aqidah) dan berdampak positif bagi manusia lain (akhlak).
D. Aqidah
1. Pengertian Aqidah
Aqidah adalah bentuk dari kata “ „aqoda, ya‟qidu, ‟aqdan-„aqidatan ” yang berarti simpulan, ikatan, sangkutan, perjanjian, dan kokoh.
Penggunaan kata Aqidah dalam Al-Quran berarti sumpah setia di antara manusia (Qs. An-Nisa, 4:33; Al-Maidah, 5:1&89). Misalnya dalam hal pembagian harta waris, orang yang terikat sumpah setia dengan orang yang meninggal dunia tersebut berhak menerima harta waris. Apabila sumpah itu dilanggar, ia harus menggantinya dengan khifarat. Aqidah juga berarti ikatan nikah (Qs. Al-Baqarah, 2:235&237) atau kekakuan lidah (Qs. Thaha, 20:27) atau ikatan tali (Qs. Al-Alaq 113:4). Hasbi Ash Shiddiqi mengatakan aqidah menurut ketentuan bahasa (bahasa arab) ialah sesuatu yang dipegang teguh dan terhunjam kuat di dalam lubuk jiwa dan tak dapat beralih dari padanya. Sedangkan Syekh Hasan Al-Bannah menyatakan aqidah sebagai sesuatu yang seharusnya hati membenarkannya sehingga menjadi ketenangan jiwa, yang menjadikan kepercayaan bersih dari kebimbangan dan keragu-raguan. Secara umum, aqidah dalam Islam berarti perjanjian teguh manusia dengan Allah yang berisi tentang kesediaan manusia untuk tunduk dan patuh secara sukarela tanpa keragu-raguan pada kehendak Allah.
2. Ruang Lingkup Aqidah
Kesediaan manusia untuk tunduk dan patuh secara sukarela tanpa keragu-raguan pada kehendak Allah tersebut mengandung enam dasar perjanjian, yaitu: keyakinan hati bahwa tiada Tuhan selain Allah, keyakinan hati bahwa ada hal yang ghaib seperti malaikat, keyakinan hati bahwa ada manusia yang diberi amanah kerasulan oleh Allah, keyakinan hati bahwa ada pertanggungjawaban amal perbuatan setelah kematian, dan keyakinan hati bahwa ada aturan pasti yang melandasi
kehidupan ini yang dibuat Allah (Qs. Al-Baqarah, 2:2-4&177; Al-Bayan, Kitab Iman, No.5) Dampak keyakinan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah adalah kita yakin bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Ketika kita dihadapkan pada suatu masalah, kita hanya memohon pertolongan pada Allah. Sehingga kita terhindar dari menyekutukan Allah atau syirik. Sedangkan dampak keyakinan bahwa malaikat itu ada adalah kontrol diri yang stabil dan objektif. Dampak keyakinan pada amanah kerasulan yang diberikan Allah pada rasul dari manusia biasa adalah penghargaan terhadap objektivitas informasi. Hanya informasi yang akurat kebenarannya sajalah yang dijadikan landasan perbuatan kita sebagai manusia yang bisa berpikir. Dampak dari keyakinan adanya kumpulan petunjuk Allah yang diberikan kepada nabi adalah kepastian petunjuk hidup yang bisa diikuti manusia. Sedangkan dampak dari keyakinan adanya pertanggungjawaban amal perbuatan setelah kematian adalah terjaganya perilaku selama hidup di dunia dan menjalani hidup dengan penuh makna. Dampak keyakinan bahwa adanya aturan pasti yang mengikat alam semesta ini termasuk tubuh kita adalah keluasan ruang dan waktu bagi manusia untuk mengembangkan seluruh potensi dirinya.
3. Kedudukan Aqidah dalam Pokok Ajaran Islam
Aqidah merupakan akar bagi setiap perbuatan manusia. Apabila akar pohon perbuatan manusia itu kokoh, maka pohon perbuatan manusia itu akan berbuah dan tahan dari berbagai tiupan angin cobaan. Sebaliknya, apabila akar pohon perbuatan
manusia itu lemah, maka buah perbuatan manusia itu akan tidak bermakna dan mudah roboh dengan tiupan godaan angin sepoi-sepoi sekalipun. Manusia yang lisan dan hatinya menyatakan tunduk dan patuh secara sukarela tanpa keragu-raguan pada kehendak Allah, pasti dampak perbuatannya akan bermanfaat bagi manusia lain yang ada di sekitarnya.
E. Syari’ah
1. Pengertian Syari’ah
Syara‟a – Yasyra‟u – Syar‟an artinya membuat undang-undang, menerangkan rute perjalanan, adat kebiasaan, jalan raya. Syara‟a – Yasyra‟u – Syuruu‟an artinya masuk ke dalam air memulai pekerjaan, jalan ke air, layar kapal, dan tali panah (Mahmud Yunus, 1989:195). Syari‟ah adalah jalan ke sumber (mata) air. Dahulu orang Arab menggunakan syari‟ah untuk sebutan jalan setapak menuju sumber (mata) air untuk mencuci atau membersihkan diri. (Mohammad Daud Ali, 1997:235) Syaria‟ah juga berarti jalan lurus, jalan yang lempang, tidak berkelok-kelok, jalan raya. Penggunaan kata syari‟ah bermakna peraturan, adat kebiasaan, undang-undang, dan hukum (Ahmad Wason Munawwir, 1984:762). Dari pengertian di atas Syariah adalah segala peraturan agama yang telah ditetapkan Allah SWT untuk umat islam, baik dari Al-Qur‟an maupun dari sunnah Rasulullah SAW, yang diberikan kepada manusia melalui para Nabi agar manusia hidup selamat di dunia maupun di akhirat.
Para pakar hukum Islam memberikan batasan pengertian “Syariah” yang lebih tegas untuk membedakannya dengan “Ilmu Fiqhi”, yang diantaranya sebagai berikut:
a. Imam Abu Ishak As-Syatibi dalam bukunya Al-Muwafaqat fi ushulil ahkam mengatakan, “Bahwasanya arti syari‟ah itu, sesungguhnya, menetapkan batas tegas bagi orang-orang mukallaf, dalam segala perbuatan, perkataan, dan akidah mereka.”
b. Syikh Muhammad Ali Ath-thahawi dalam bukunya kassyful istilahil funun mengatakan, “Syari‟ah ialah segala yang telah diisyaratkan Allah SWT untuk para hamba-Nya, dari hukum-hukum yang telah dibawa oleh para Nabi Allah as. Baik yang berkaitan dengan cara pelaksanaannya, dan disebut dengan far‟iyah amaliah lalu dihimpun dalam ilmu fiqh atau cara berkaidah yang disebut pokok akidah, dan dihimpun oleh ilmu kalam, dan syariah ini dapat disebut juga dengan diin (agama) dan millah.
c. Prof. DR. Mahmud Salthutmengatakan bahwa, “Syari‟ah adalah segala peraturan yang telah disyariatkan Allah, atau Ia telah mensyariatkan dasar-dasarnya, agar manusia melaksanakannya, untuk dirinya sendiri, dalam berkomunikasi dengan Tuhannya, dengan sesama muslim, dengan sesama manusia, dengan alam semesta,dan berkomunikasi dengan kehidupan.”
Definisi tersebut menegaskan bahwa syari‟ah sama artinya dengan diin (agama) dan millah. Berbeda dengan ilmu fiqh yang hanya membahas tentang amaliyah hukum (ibadah). Sedangkan bidang akidah dan hal-hal yang berhubungan dengan alam gaib, dibahas oleh ilmu kalam atau ilmu tauhid.
2. Ruang Lingkup Syari’ah
Ruang Lingkup Syari‟ah (Hukum Islam) meliputi hubungan vertikal dengan Allah (ibadah) dan hubungan horizontal dengan sesama manusia (mu‟amalat).
a. Hubungan manusia dengan Allah SWT secara vertikal, melalui ibadah, seperti:
Thaharah (Bersuci diri dari kotoran dan najis), tujuan : membiasakan manusia hidup bersih agar manusia lain merasa nyaman di tengah-tengah kehadirannya;
Shalat, tujuan : menanamkan kesadaran diri manusia tentang identitas asal usulnya dari tanah serta pengualangan janji akan tunduk dan patuh secara sukarela kepada Allah dalam kurun waktu 24 jam kehidupannya yang dibuktikan dengan tidak melakukan perbuatan merugikan orang banyak (fahisah) dan lisannya tidak melukai perasaan orang lain (munkar);
Zakat, tujuan : membiasakan manusia untuk berbagi dengan manusia lain yang tidak bekerja produktif (petani, pedagang musiman, tukang becak, dll) yang ada di lingkungan sekitar tempat tinggalnya;
Puasa, tujuan : membiasakan manusia untuk jujur pada diri sendiri dan berempati atas penderitaan orang lain dengan cara meniru sifat-sifat Allah SWT, seperti sifat Allah SWT yang tidak pernah makan, minum, dan berkeluarga.
Haji, tujuan: mempersiapkan manusia untuk sanggup datang kepada Allah SWT sendiri-sendiri dengan menanggalkan seluruh kekayaan, ikatan kekerabatan, jabatan kekuasaan, kecuali amal perbuatan yang telah dilakukannya.
b. Hubungan manusia dengan manusia secara horizontal, seperti :
Ikatan pertukaran barang dan jasa, tujuan: agar kehidupan dasar manusia yang satu dengan yang lain dapat tercukupi dengan sportif;
Ikatan pernikahan; tujuan: melestarikan generasi manusia berdasarkan aturan yang berlaku;
Ikatan pewarisan, tujuan: menjamin kebutuhan dasar hidup bagi anggota keluarga sebagai tanggungan orang yang meninggal dunia;
Ikatan kemasyarakatan, tujuan: agar terjadi pembagian peran dan fungsi sosial yang seadil-adilnya atas dasar musyawarah di bawah hukum kemasyarakatan yang dibuat bersama;
Ikatan kemanusiaan, tujuan: agar terjadi saling tenggang rasa, karya, dan cipta di antara manusia yang berkaitan.
3. Kedudukan Syari’ah dalam Pokok Ajaran Islam
Syari‟ah islam secara mutlak dimaksudkan seluruh ajaran Islam baik yang mengenai keimanan, amaliah ibadah, maupun mengenai akhlak. Firman Allah SWT :
Artinya : “Kemudian Kami jadikan engkau berada di atas suatu syari‟ah (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah dia (syari‟ah), dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jatsiyah: 18) Kedudukan syari‟ah dalam ajaran Islam adalah sebagai bukti aqidah. Setiap detik kehidupan manusia diisi dengan perbuatan-perbuatan. Perbuatan-perbuatan itu dilandasi akar keyakinan hati akan tunduk dan patuh secara sukarela terhadap kehendak Allah (aqidah). Buah dari perbuatan itu dinamai akhlak.
F. Akhlak
1. Pengertian Akhlak
Akhlak berasal dari bahasa Arab, yang berasal dari kata khalaqa-yakhluqukhalqan
artinya membuat, atau menjadikan sesuatu. Akhlak (tunggal: khuluq)
artinya perangai (Mahmud Yunus, 1989:120). Penggunaan kata “khalaqa” dan
turunannya dalam Al-Quran berarti menciptakan sesuatu.
Dengan demikian, pengertian akhlak dari segi bahasa maupun penggunaannya
dalam Al-Quran dapat didefinisikan sebagai tindakan membentuk atau membiasakan
perbuatan. Akhlak adalah perilaku yang dimiliki oleh manusia, baik akhlak yang
terpuji atau akhlakul karimah maupun yang tercela atau akhlakul madzmumah.
Dalam prakteknya akhlak bisa dikatakan buah atau hasil dari akidah yang kuat dan
syari‟at yang benar. Allah SWT mengutus Nabi Muhammd SAW tidak lain dan tidak
bukan adalah untuk memperbaiki akhlak.
Sebagai bahan perbandingan, Ahmad Amin (1988) mendefinisikan akhlak
sebagai perbuatan yang diulang-ulang sehingga menjadi mudah untuk melakukannya
dan tidak perlu berpikir lagi bagaimana melakukannya. Contohnya adalah seperti
salat tahajud. Pada malam pertama mungkin akan sedikit berat untuk dapat bangun
malam. Namun, bila hal itu dilakukan berulang-ulang itu akan menjadi sangat
mudah. Kita tidak perlu berpikir lagi bagaimana melakukannya. Demikian juga
dengan bersedekah. Bila kita rajin melakukan sedekah, tentu hal ini menjadi mudah
untuk kita lakukan. Tak perlu lagi berpikir bagaimana caranya bersedekah. Maka kita dapat berkesimpulan bahwa bersedekah/membantu orang lain adalah akhlak. Menurut Yunahar Ilyas (2004:12-14) akhlak dalam Islam memiliki lima macam ciri, yaitu:
a. Akhlak Rabani
Ajaran akhlak dalam Islam bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah. Di dalam Al-Quran terdapat 1500 ayat yang mengandung ajaran tentang akhlak, baik secara teoritis maupun praktis. Demikian pula dalam hadist juga terdapat banyak pedoman mengenai akhlak. Sifat Rabbani dari akhlak berkaitan dengan tujuannya, yakni memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Akhlak Rabbani mampu menghindari dari kekacauan nilai moralitas dalam hidup manusia. Allah SWT berfirman dalam surah Al-An‟am ayat 153 : “Inilah jalanku yang lurus: hendaknya kamu mengikutinya; jangan ikuti jalan-jalan yang lain; sehingga kamu bercerai-berai dari jalan-Nya. Demikian diperintahkan padamu agar kamu bertaqwa.”
b. Akhlak Manusiawi
Ajaran akhlak dalam Islam sejalan dan memenuhi fitrah sebagai manusia. Akhlak dalam Islam adalah akhlak yang benar-benar memelihara eksistensi sebagai seorang manusia yang merupakan makhluk yang terhormat, sesuai dengan fitrahnya, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dimana hal ini merupakan hak yang fundamental dan mutlak dimiliki oleh manusia.
c. Akhlak Universal
Ajaran akhlak dalam Islam sesuai dengan kemanusiaan yang universal dan mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik dimensi vertikal maupun horisontal. Contohnya dalam Al-Quran terdapat 10 macam keburukan yang wajib dijauhi oleh setiap orang, yakni menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh anak karena takut miskin, berbuat keji baik secara terbuka maupun tersembunyi, membunuh orang tanpa alasan yang sah, makan harta anak yatim, mengurangi takaran dan timbangan, membebani orang lain dengan kewajiban melampaui kekuatannya, persaksian tidak adil, dan menghianati janji dengan Allah (Qs. Al-An‟am, 6:151-152). Sepuluh macam keburukan ini adalah nilai-nilai yang bersifat universal bagi siapapun, dimanapun, dan kapanpun akan dinyatakan sebagai keburukan.
d. Akhlak Keseimbangan
Akhlak dalam Islam berada di antara dua sisi. Di satu sisi mengkhayalkan manusia sebagai malaikat yang menitikberatkan pada sifat kebaikannya dan di sisi lain mengkhayalkan manusia sebagai hewan yang menitikberatkan pada sifat kebinatangannya (hawa nafsu). Manusia dalam Islam memiliki dua kekuatan, yaitu: kekuatan kebaikan yang berada dalam hati nurani dan akalnya; kekuatan buruk yang berada pada hawa nafsunya.
Manusia memiliki unsur rohaniah malaikat dan juga unsur naluriah hewani yang masing-masing memerlukan pelayanan secara seimbang.
Manusia tidak hanya hidup di dunia namun juga akan menghadapi kehidupan di akhirat kelak. Akhlak dalam Islam memenuhi tuntutan hidup manusia secara seimbang, baik dalam kebutuhan jasmani ataupun rohani.
e. Akhlak Realistik
Ajaran akhlak dalam Islam memperhatikan kenyataan hidup manusia. Meskipun manusia dinyatakan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibanding makhluk-makhluk yang lain, akan tetapi manusia juga memiliki kelemahan yang sering terjadi akibat ketidakmampuan untuk mengontrol diri. Oleh karena itu dalam ajaran Islam memberikan kesempatan bagi manusia untuk memperbaiki diri dengan bertaubat. Bahkan dalam keadaan terpaksa, Islam memeprbolehkan manusia melakukan sesuatu dalam keadaan biasa tidak dibenarkan. Allah berfirman dalam Qs. Al-Baqarah, 2:173 : “ Barangsiapa terpaksa, bukan karena membangkang dan sengaja melanggar aturan, tidaklah ia berdosa. Sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai cerminan akhlak apabila memiliki kriteria sebagai berikut:
a. Dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi suatu kebiasaan;
b. Timbul dengan sendirinya (spontan), tanpa dipikir-pikir terlebih dahulu.
2. Ruang Lingkup Akhlak
Apabila perbuatan-perbuatan manusia (syari‟ah) dikelompokkan menjadi ibadah dan mu‟amalah, maka akhlak pun dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: akhlak pada Allah; akhlak pada manusia.
a. Akhlak pada Allah
Akhlak kepada Allah adalah tanda terimakasih kita padaNya. Contoh akhlak kepada Allah: melaksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. b. Akhlak pada manusia Akhlak kepada manusia adalah cara kita untuk menemukan kemanfaatan bagi hidup bersama. Contoh akhlak kepada manusia: menghormati orangtua, menolong orang lain, menghormati hak orang lain, dsb. Akhlak menghormati orangtua terdapat pada firman Allah SWT dalam surat Al Ahqaaf ayat 15 : “Dan Kami telah perintahkan manusia untuk berbuat baik kepada ibu-bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dengan kepayahan dan melahirkannya dengan kepayahan (pula). Dia mengandungnya sampai masa menyapihnya tiga puluh bulan, sehingga apabila anak itu mencapai dewasa dan mencapai usia empat puluh tahun, dia berkata, “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk supaya aku mensyukuri nikmatMu yang Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat mengerjakan amal saleh yang Engkau meridhainya, dan berilah kebaikan kepadaku (juga) pada keturunanku. Sesungguhnya aku taubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (muslim)”.
18
3. Kedudukan Akhlak dalam Pokok Ajaran Islam
Kedudukan akhlak dalam ajaran Islam adalah hasil, dampak, atau buah dari perbuatan-perbuatan (syari‟ah) yang dilandasi keyakinan hati tunduk dan patuh secara sukarela pada kehendak Allah (aqidah). Seperti halnya adalah jujur pada diri sendiri yang merupakan bagian dari akhlak adalah dampak perbuatan puasa (syari‟ah) yang dilandasi keyakinan hati (aqidah) bahwa dengan puasa kita dapat berempati terhadap penderitaan orang lain yang menjalani hidupnya serba kekurangan.
II. Kesimpulan
Kerangka dasar ajaran Islam adalah cetak biru ajaran Allah SWT kepada utusan Allah. Dimana di dalam kerangka dasar ajaran terdapat tiga bagian utama yang saling berkaitan, yaitu: Aqidah, Syari‟ah, dan Akhlak. Aqidah merupakan akar(dasar) dari setiap perbuatan manusia. Sedangkan Syaria‟ah adalahperbuatan-perbuatan yang merupakan wujud dari aqidah. Dari penetapan aqidah dan perwujudannya berupa Syari‟ah muncullah buah berupa kebermanfaatannya baik bagi diri sendiri maupaun orang lain yang disebut denganakhlak.
DAFTAR PUSTAKA
Hajaroh, Mami. 2008. “Akhlak, Etika, dan Moral” dalam Ajat Sudrajat, dkk. Din al-Islam Pendidiksan Agama Islam di perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta: UNY Press.
Anonim.http://ragab304.wordpress.com/2007/05/10/islam-akidah-syariah-dan-akhlak/. Diakses pada tanggal 16 November 2011
Anonim.http://sobatbaru.blogspot.com/2010/03/pengertian-akhlak.html. Diakses pada tanggal 16 November 2011
Anonim.http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2108596-pengertian-aqidah/#ixzz1defgBDtb.Diakses pada tanggal 8 November 2011
Rabu, 23 Oktober 2013
Ilmu Retorika
RETORIKA
SEBAGAI SENI BERBICARA
Ari Yosepa
Abstract
Artikel ini membahas urgensi
Retorika sebagai salah satu bidang ilmu pengetahuan yang semakin hari semakin
mendapat tempat strategis dalam Kurikulum Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia. Materi yang dibahas meliputi sejarah dan konsep Retorika. Sebagai
seni berbicara, Retorika dapat dimanfaatkan pada proses pembelajaran di kelas.
Pembelajaran yang tidak memanfaatkan Retorika dapat menimbulkan kebosanan
sehingga perhatian anak didik tidak tercurah pada bahan yang disajikan.
Pengajar yang cakap memanfaatkan Retorika dalam tugasnya akan disenangi anak
didiknya.
Kata kunci: retorika, seni
berbicara, pembelajaran bahasa
PENDAHULUAN
Retorika memegang peranan penting
dalam kegiatan berbicara. Hal ini sudah lama disadari di belahan bumi bagian
Barat. Berdasarkan peninggalan tertulis bangsa Yunani ternyata masalah ini
sudah dikenal sejak abad ke-5 sebelum Masehi. Studi Retorika ini akhirnya
mempengaruhi perkembangan kebudayaan Eropa dari zaman ke zaman sampai dengan
abad ke-7 Masehi.
Bertahun-tahun Retorika dianggap
negatif oleh sebagian ilmuwan karena seolah-olah Retorika hanya seni propaganda
saja, dengan kata-kata yang bagus bunyinya tetapi disangsikan kebenaran isinya.
Padahal, arti asli dari Retorika jauh lebih mendalam, yakni pemekaran
bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa selaku
kemampuan untuk berkomunikasi dalam medan pikiran (to be victorious lords in
the battle of minds). Retorika menjadi mata ajar poros demi emansipasi
manusia menjadi tuan dan puan (Rakhmat, 2007: v).
Kemampuan bicara bisa merupakan
bakat. Namun, kepandaian bicara yang baik memerlukan pengetahuan dan latihan.
Orang sering memperhatikan cara dan bentuk pakaian yang dikenakannya, agar
kelihatan pantas, tetapi ia sering lupa memperhatikan cara dan bentuk
pembicaraan yang diucapkannya supaya kedengaran baik. Retorika sebagai “ilmu
bicara” sebenarnya diperlukan semua orang.
Menyadari penting dan manfaat
retorika dalam keterampilan berbahasa, Retorika dimasukkan ke dalam Kurikulum
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) pada tahun ajaran
1994/1995. Sampai dengan sekarang mata kuliah ini masih eksis sebagai mata
kuliah pokok yang wajib diikuti oleh mahasiswa. Melalui mata kuliah Retorika
mahasiswa diharapkan dapat memahami; 1) konsep dasar Retorika; 2) hakikat,
sejarah, klasifikasi, metode, dan pendidikan Retorika; 3) menjelaskan
penggunaan bahasa sebagai seni secara lisan dan tulis; 4) mampu dan terampil
menggunakan bahasa sebagai seni dalam wacana lisan dan tulis untuk berbagai
kebutuhan praktis.
PEMBAHASAN
Sejarah Retorika
Istilah Retorika muncul pertama kali
di Yunani sekitar abad ke-5 Sebelum Masehi. Saat itu merupakan masa
kejayaan Yunani sebagai pusat kebudayaan barat dan para filsufnya saling
berlomba untuk mencari apa yang mereka anggap sebagai kebenaran. Pengaruh
kebudayaan Yunani ini menyebar sampai ke dunia timur seperti Mesir, India,
Persia, Indonesia, dan lain-lain. Retorika mulai berkembang pada zaman
Socrates, Plato, dan Aristoteles. Selanjutnya, Retorika berkembang menjadi
suatu ilmu pengetahuan dan yang dianggap sebagai guru pertama dalam ilmu
Retorika adalah Georgias (480–370 S.M.).
Uraian sistematis Retorika yang
pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia.
Bertahun-tahun koloni itu diperintah para tiran. Tiran, di mana pun dan pada
zaman apa pun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 S.M., rakyat
melancarkan revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah
mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah.
Untuk mengambil haknya, pemilik
tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu itu, tidak ada
pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan
mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak berhasil memperoleh
kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara.
Untuk membantu orang memenangkan
haknya di pengadilan, Corax menulis makalah Retorika, yang diberi nama Techne
Logon (seni kata-kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada, dari para
penulis sezaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang
teknik kemungkinan. Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari
kemungkinan umum. Misalnya, seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan
untuk pertama kalinya. Dengan teknik kemungkinan kita bertanya,
"Mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan
mencuri? Bukankah, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke pengadilan
karena mencuri." Contoh lain, seorang miskin mencuri dan diajukan ke
pengadilan untuk kedua kalinya. Kita bertanya, "la pernah mencuri dan
pernah dihukum. Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang
sama". Akhirnya, Retorika memang mirip “ilmu silat lidah".
Tokoh-tokoh Retorika klasik yang
menonjol antara lain adalah Gorgias, Lycias, Phidias, Protogoras, dan
Isocrates. Kelompok ini menyebut aliran Retorika mereka sebagai kaum Sofis.
Menurut aliran ini Retorika merupakan alat untuk memenangkan suatu kasus lewat
bertutur seperti kepandaian memainkan ulasan, kefasihan berbahasa, pemanfaatan
emosi penanggap tutur, dan keseluruhan tutur harus ditujukan untuk mencapai
kemenangan. Aristoteles memberikan pengertian yang berbeda dan berlawanan
dengan kaum Sofis. Menurut filsuf terkenal ini, Retorika adalah ilmu yang
mengajarkan orang keterampilan menemukan secara persuasif dan objektif.
Aliran pertama Retorika dalam masa
modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal sebagai aliran
epistemologis. Epistemologi membahas "teori pengetahuan";
asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir
epistemologis berusaha mengkaji Retorika klasik dalam sorotan perkembangan
psikologi kognitif (yakni, yang membahas proses mental).
George Campbell (1719-1796), dalam
bukunya The Philosophy of Rhetoric, menelaah tulisan Aristoteles,
Cicero, dan Quintillianus dengan pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas
psikologi). Psikologi fakultas berusaha menjelaskan sebab-musabab perilaku
manusia pada kemampuan jiwa manusia: pemahaman, memori, imajinasi, perasaan dan
kemauan. Retorika, menurut definisi Campbell, haruslah diarahkan kepada upaya
"mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan
mempengaruhi kemauan".
Aliran Retorika modern kedua dikenal
sebagai gerakan belles lettres (bahasa Prancis: tulisan yang indah).
Retorika belletris sangat mengutamakan keindahan bahasa, segi-segi
estetis pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair
(1718-1800) menulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia
menjelaskan hubungan antara Retorika, sastra, dan kritik. Ia memperkenalkan
fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari
pertemuan dengan apa pun yang indah. Karena memiliki fakultas citarasa, Anda
senang mendengarkan musik yang indah, membaca tulisan yang indah, melihat
pemandangan yang indah, atau mencamkan pidato yang indah. Citarasa, kata Blair,
mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio dan
ketika rasio dapat menjelaskan sumber-sumber kenikmatan.
Pada abad kedua puluh, Retorika
mengambil manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan modern, khususnya
ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah Retorika pun mulai
digeser oleh speech, speech communication, atau oral communication, atau
public speaking.
Konsep Retorika
Retorika adalah suatu gaya atau seni
berbicara, baik yang dicapai berdasarkan bakat alami (talenta) maupun melalui
keterampilan teknis. Seni berbicara ini bukan hanya berarti berbicara secara
lancar tanpa jalan pikiran yang jelas dan tanpa isi, melainkan suatu kemampuan
untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat dan mengesankan.
Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang
tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang
tepat. Beretorika juga harus dapat dipertanggungjawabkan disertai pemilihan
kata dan nada bicara yang sesuai dengan tujuan, ruang, waktu, situasi, dan
siapa lawan bicara yang dihadapi.
Retorika dapat diartikan secara
“etimologi” dan “terminologi”. Secara etimologi (asal kata), Retorika berasal
dari bahasa latin (Yunani kuno) yaitu Rhetorica yang artinya seni
berbicara dan dari bahasa Inggris Rhetoric yang berarti kepandaian
berpidato atau berbicara. Secara terminologi (istilah) dalam bahasa Inggris
Retorika dikenal dengan istilah “the art of speaking” yang artinya seni
di dalam berbicara atau bercakap. Dengan demikian, secara sederhana dapat
dikemukakan Retorika adalah suatu bidang ilmu yang mempelajari atau
mempersoalkan tentang bagaimana cara berbicara yang mempunyai daya tarik yang
mempesona, sehingga orang yang mendengarkannya dapat mengerti dan
tergugah perasaannya. Berikut ini definisi yang dikemukakan oleh beberapa
pakar di bidang Retorika:
1) Richard mengatakan
bahwa Retorika adalah ilmu yang mengajarkan bagaimana kita
menggarap wicara-tutur kata secara epistomologi untuk membina saling pengertian dan kerja
sama;
menggarap wicara-tutur kata secara epistomologi untuk membina saling pengertian dan kerja
sama;
2) Socrates mengemukakan
bahwa Retorika mempersoalkan tentang bagaimana mencari
kebenaran dengan dialog sebagai tekniknya, karena dengan dialog kebenaran dapat timbul
dengan sendirinya;
kebenaran dengan dialog sebagai tekniknya, karena dengan dialog kebenaran dapat timbul
dengan sendirinya;
3) Plato
mengungkapkan bahwa Retorika adalah kemampuan di dalam mengaplikasikan
bahasa lisan yang merupakan jalan bagi seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang luas
dan sempurna;
bahasa lisan yang merupakan jalan bagi seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang luas
dan sempurna;
4) Kertapati
mengartikan Retorika sebagai kemampuan seseorang untuk menyatakan pikiran
dan perasaannya dengan menggunakan lambang-lambang bahasa (Agung, 1989:3).
dan perasaannya dengan menggunakan lambang-lambang bahasa (Agung, 1989:3).
Dari beberapa definisi yang
dikemukakan para ahli terlihat semuanya mengacu dan memberi penekanan kepada
kemampuan menggunakan bahasa lisan (berbicara) yang baik dengan memberikan
sentuhan gaya (seni) didalam penyampaiannya dengan tujuan untuk
memikat/menggugah hati pendengarnya dan mengerti dan memahami pesan yang
disampaikannya.
Salah satu yang dipelajari dalam
Retorika adalah bagaimanana seseorang memahami persepsi. Persepsi
adalah proses yang terintegrasi dalam individu yang terjadi
sebagai reaksi atas stimulus yang diterimanya. Sebuah konsensus (kesamaan
persepsi kolektif pada satu isu tertentu) yang tercapai melalui diskusi sosial
akan menimbulkan opini publik, sedangkan pada diri individu sendiri, opini bisa
bersifat laten atau manifes. Opini yang bersifat laten disebut sikap. Sikap
adalah suatu predisposisi terhadap sesuatu objek, yang di dalamnya
termasuk sistem kepercayaan, perasaan, dan kecenderungan perilaku terhadap
obyek tersebut. Sikap bisa dipelajari, bersifat stabil, melibatkan aspek
kognisi dan afeksi, dan menunjukkan kecenderungan perilaku.
Asal konsep Retorika adalah
persuasi. Definisi persuasi adalah; (1) Tindakan untuk mengubah sikap dan
perilaku seseorang dengan menggunakan kata-kata lisan/tertulis, (2) suatu usaha
untuk menanamkan opini baru, dan (3) Suatu usaha yang dilakukan secara sadar,
untuk mengubah sikap, kepercayaan, dan perilaku orang dengan transmisi pesan.
Titik tolak Retorika adalah
berbicara. Berbicara berarti mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang
atau sekelompok orang, untuk mencapai suatu tujuan tertentu (misalnya
memberikan informasi atau memberi informasi). Berbicara adalah salah satu
kemampuan khusus pada manusia. Oleh karena itu, pembicaraan setua umur bangsa
manusia. Bahasa dan pembicaraan ini muncul, ketika manusia mengucapkan dan
menyampaikan pikirannya kepada manusia lain.
Retorika modern adalah gabungan yang
serasi antara pengetahuan, pikiran, kesenian, dan berbicara. Dalam bahasa
percakapan atau bahasa populer, Retorika berarti pada tempat yang tepat, pada
waktu yang tepat, atas cara yang lebih efektif, mengucapkan kata-kata yang
tepat, benar dan mengesankan. Ini berarti orang harus dapat berbicara jelas,
singkat dan efektif, jelas supaya mudah dimengerti, singkat untuk menghemat
waktu dan sebagai tanda kepintaran, dan efektif karena apa gunanya
berbicara kalau tidak membawa efek. Dalam konteks ini sebuah pepatah cina
mengatakan”, orang yang menembak banyak, belum tentu seorang penembak yang
baik. Orang yang berbicara banyak tidak selalu berarti seorang yang pandai
bicara” (Hendrikus, 1999:7).
Keterampilan dan kesanggupan untuk
menguasai seni berbicara ini dapat dicapai dengan mencontoh para atau
tokoh-tokoh yang terkenal dengan mempelajari dan mempergunakan hukum-hukum
Retorika dan dengan melakukan latihan yang teratur. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan memperhatikan tahapan berikut.
1) Inventio (penemuan)
Pada tahap ini, pembicara menggali
topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat.
Bagi Aristoteles, Retorika tidak lain merupakan "kemampuan untuk
menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode persuasi yang
ada". Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan
bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.
Aristoteles menyebut tiga cara untuk
mempengaruhi manusia. Pertama, Anda harus sanggup menunjukkan kepada
khalayak bahwa Anda memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang
terpercaya, dan status yang terhormat (ethos). Kedua, Anda harus
menyentuh hati khalayak perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang
mereka (pathos). Kelak, para ahli Retorika modern menyebutnya imbauan emotional
(emotional appeals). Ketiga, Anda meyakinkan khalayak dengan mengajukan
bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini Anda mendekati khalayak lewat
otaknya (logos).
Di samping ethos, pathos, dan
logos, Aristoteles menyebutkan dua cara lagi yang efektif untuk
mempengaruhi pendengar yaitu entimem dan contoh. Entimem (Bahasa
Yunani: "en" di dalam dan "thymos" pikiran) adalah sejenis
silogisme yang tidak lengkap (sebagian premis dihilangkan), tidak untuk
menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan.
2) Dispositio (penyusunan)
Pada tahap ini, pembicara menyusun
pidato atau mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang
berarti pembagian. Pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan
secara logis. Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan berpikir manusia:
pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut Aristoteles, pengantar
berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan
menjelaskan tujuan.
3) Elocutio (gaya)
Pada tahap ini, pembicara memilih
kata-kata dan menggunakan bahasa yang tepat untuk "mengemas"
pesannya. Aristoteles memberikan nasihat, “gunakan bahasa yang tepat, benar,
dan dapat diterima; pilih kata-kata yang jelas dan langsung; sampaikan kalimat
yang indah, mulia, dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan pesan, khalayak, dan
pembicara.”
4) Pronuntiatio (penyampaian)
Pada tahap ini, pembicara menyampaikan
pesannya secara lisan. Di sini, akting sangat berperan. Demosthenes
menyebutnya hypocrisis (boleh jadi dari sini muncul kata hipokrit).
Pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakan-gerakan,
anggota badan (gestus moderatio cum venustate).
PENUTUP
Objek studi Retorika sudah berusia
setua kehidupan manusia. Setiap orang tentu memanfaatkan Retorika menurut
kemampuannya masing-masing. Khusus dalam bidang pendidikan, para pendidik dalam
tugasnya sadar atau tidak telah memanfaatkan Retorika. Pemanfaatan tersebut di
antaranya tampak dari usaha-usaha memberikan jawaban terhadap sejumlah
pertanyaan. Misalnya, bahan pelajaran yang bagaimanakah yang diperlukan anak
didik? Bagaimanakah cara penyajian pembelajaran yang menarik dan menyenangkan?
Bagaimanakah cara merangsang anak didik agar terdorong untuk berpikir, merasa,
dan berbuat secara efektif? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini merupakan
bentuk nyata aplikasi ilmu Retorika.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, Arman. 1989. Laporan
Program Pembelajaran Pendidikan Kader (Materi Retorika). IKIP Gunung Sari Baru:
Ujung Pandang.
Arsjad, Maidar G. dan Mukti US.
1993. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Bettinghaus, Erwin P. 1980. Persuasive
Communication. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Hendrikus, Dori Wuwur. 1999. Retorika
(Terampil berpidato, Berdiskusi, Berargumentasi, Bernegosiasi). Kanisius.
Yogyakarta.
Rakhmat, Jalaluddin. 1992. Psikologi
Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Retorika
Modern Pendekatan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Smith, Donald K. 1969. Man
Speaking: A Rhetoric of Public Speech. New Jersey: Dodd Mead.
Makalah Pendidikan Pancasila
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT. atas limpahan Rahmat dan karuniah-Nya
kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini adalah
tugas mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan oleh Bapak
Salamet, SH.,MH selaku dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH)”Sunan Giri” Malang. Tempat dimana
penulis melanjutkan jenjang pendidikan. Oleh karena itu tugas ini sangat
bermutu sebagai pemula seperti penulis untuk mengetahui dan memahami sistem
Hukum yang ada di Negara ini.
Dengan demikian makalah ini penulis buat, tentunya dengan besar harapan
dapat bermanfaat bagi sifitas akademika khusnya terhadap saudara/i seperjuangan
di STIH. Namun tidak menutup kemungkinan makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh penulis,
tentunya untuk kepentingan proses peningkatan cakrawala berfikir kita bersama
dalam memahami hakekat Hukum itu sendiri. Terimakasih.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar ….……………………………..………………………………….......... i
Daftar
Isi ……………………………………………………………………………….. ii
BAB
1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………….…………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………………... 1
C. Tujuan …………………………………………………………………................ 1
BAB
II PEMBAHASAN
………………………………………….…………………. 2
A. Pengertian Pancasila…………………………………………………………........ 2
B. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia……….………………....... 4
C. Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia……….…………………...... 6
D. Pancasila Sebagai Ideologi Negara
………………………………….…………... 7
E. Pancasila Sebagai Sumber Moral bangsa ……………………………………....... 7
F. Penjabaran Nilai-Nilai Dari Pancasila…………………………….……………..... 8
G. Dasar Pemikiran Pendidikan Pancasila …………………………………………... 10
H. Arah Pendidikan Pancasila………………………………………………….….... 10
I. Pancasila Sebagai Paradigma Kehidupan
Dalam Masyarakat
Berbangsa dan Bernegara………………………………………………………... 11
BAB
III PENUTUP ……………………………………………………………..…...
12
A. Kesimpulan …………………………………………………………………….. 12
Daftar Pustaka …………………………………………………………………………
13
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 3 menegaskan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan
nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peadaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencersdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap.
Kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Pancasila sebagai Dasar Negara
Republik Indonesia?
2. Bagaimana penjabaran tiap-tiap sila dari Pancasila?
3. Bagaimanakah
Pancasila Sebagai Paradigma Kehidupan Dalam Masyarakat Berbangsa dan Bernegara.
C.Tujuan
1
Untuk mengetahui Pancasila sebagai Dasar Negara
Republik Indonesia.
2
Untuk mengetahui penjabaran tiap-tiap sila dari Pancasila?
3
Untuk mengetahui Pancasila Sebagai Paradigma Kehidupan Dalam
Masyarakat Berbangsa dan Bernegara
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pancasila
Secara arti kata pancasila mengandung arti, panca yang
berarti lima “lima” dan sila yang berarti “dasar”. Dengan demikian pancasila
artinya lima dasar.Tetapi di sini pengertian pancasila berdasarkan sejarah
pancasila itu sendiri.
Apabila kita berbicara tentang UUD 1945. maka yang dimaksud ialah
Konstitusi (UUD) yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
tersebut pada tanggal 18 Agustus 1945 yang diumumkan dalam Berita Republik
Indonesia Tahun 1946 No. 7 halaman 45-48, yang terdiri atas :
1
Pembukaan (Preambule) yang meliputi 4 alinea ;
2
Batang Tubuh atau isi UUd 1945, yang meliputi;
3
Penjelasan
Dalam penjelasan resmi pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa dalam Pembukaan UUD 1945 terkandung empat pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
1
Negara melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia berdasar atas Persatuan;
2
Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
3
Negara Indonesia
adalah Negara yang berkedaulatan rakyat dan berdasar atas kerakyatan dan
permusyawaratan/perwakilan;
4
Negara Indonesia
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Khusus bagian/alinea ke -4 dari pembukaan UUD 1945
adalah merupakan asas pokok Pemebentukan pemerintah Negara Indonesia. Isi bagian ke 4 dari
Pembukaan UUD 1945 itu dibagi ke dalam 4 hal:
1. Tentang hal tujuan Negara iondonesia,
tercantum dalam kalimat “Kemudian dari pada itu dan seluruh tumpah darah indinesia,
yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2.
Memajukan
kesejahteraan rakyat;
3.
Mencerdaskan
kehidupan bangsa;
4. Ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Sehari setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia,
naskah politik yang bersejarah itu dijadikan Rancangan Pembukaan UUD sebagai
bahan pokok dan utama bagi penyusunan/penetapan Pembukaan (Preambule) UUD yang
akan ditetakan itu. Naskah politik yang bersejarah yang disusun pada tanggal 22
Agustus 1945 itu, di kemudian hari oleh Mr. Muhamad Yamin dalam pidatonya di
depan siding Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan (BPPK) pada tanggal 11 Juni
1945 dinamakan “Piagam Jakarta” dan baru beberapa tahun kemudian dimuat dalam
bukunya yang berjudul Prokalmasi dan Konstitusi pada tahun 1951. Dalam naskah
politik yang di sebut dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 inilah untuk pertama
kali dasar falsafah Negara pancasila ini dicantumkan secara tertulis, setelah
diusulkan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945. Adapun
besar arti pentingnya Pembukaan Undang-Undang Dasar itu ialah karena pada aline
ke 4 itu tercantum ketentuan pokok yang bersifat fundamental, yaitu dasar
falsafah Negara Republik Indonesia.
Maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Indonesia
yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada:
1.
Ketuhanan Mang Maha Esa,
2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.
Persatuan Indonesia,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
5.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kelima dasar ini tercakup
dalam satu nama/istilah yang amat penting bagi kita bangsa Indonesia yaitu pancasila. Istilah
atau perkataan pancasila ini memang tidak tercantum dalam Pembukaan maupun
dalam Batang Tubuh UUD 1945. Di alinea ke 4 dari Pembukaan UUD 1945 hanyalah
disebutkan bahwa, Negara Republik Indonesia berdasarkan kepada lima prinsip
atau asas yang tersebut di atas, tanpa menyebutkan pancasila. Bahwa kelima
prinsip atau dasar tersebut adalah pancasila, kita harus menafsirkan sejarah
(maupun penafsiran sistematika) yakni menghubungkanya dengan sejarah lahirnya
pencasila itu sendiri pada tanggal 1 Juni 1945, seperti yang telah diuraikan
sebelumnya. Berkenaan dengan perkataan pancasila, menurut Prof. Mr. Muhamad
Yamin (Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia)
B. Pancasila Sebagai
Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
1. Arti Pandangan Hidup Suatu Bangsa
Setiap bangsa mempunyasi
cita-cita untuk masa depan dan menghadapi masalah bersama dalam mencapai
cita-cita bersama. Cita-cita kita sebagai bangsa Indonesia tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945, yakni mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur
materil dan spirituan berdasarkan Pancasila. Seperti halnya keluarga, sutau
bangsa yang bertekad mencapai cita-cita bersama memerlukan suatu pandangan
hidup. Tanpa pandangn hidup, suatu bangsa akan terombang ambing. Dengan
pandangan hidup suatu bangsa dapat secara jelas mengetahui arah yang
dicapai. Dengan pandangan hidup, suatu bangsa :
a. Akan
dengan mudah memandang persoalan-pesoalan yang dihadapi;
b. Akan
dengan mudah mencari pemecahan masalah-masalah yang dihadapi;
c. Akan memiliki
pedoman dan pegangan;
d.Akan
membangun dirinya.
Dengan demikian, pandangan
hidup suatu bangsa adalah :
a.Cita-cita
bangsa;
b.Pikiran-pikiran
yang mendalam;
c.Gagasan
mengenai wujud kehidupan yang lebih baik.
Jadi pandangan hidup suatu
bangsa adalah inti sari (kristalisasi) dari nilai-nilai yang dimiliki bangsa
itu dan diyakini kebenaranya, yang berdasarkan pengalaman sejarah dan yang
telah menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkanya dalam kehidupan
sehari-hari.
2. Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
Setiap bangsa yang ingin
berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas ke arah mana tujuan yang ingin
dicapai sangat memerlukan pandangan hidup. Dengan pandangan hidup inilah
sesuatu bangsa akan memandang persoalan-persoalan yang dihadapi dan menetukan
arah serta bagaimana cara bangsa itu memecahkan persoalan-persoalan tadi.
Dalam pandangan hidup ini
terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan oleh sesuatu
bangsa, terkandung pikiran yang dianggap baik. Pada akhirnya pandangn hidup suatu
bangsa adalah suatu kristalisasi nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa itu
sendiri, yang diyakini kebenaranya dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk
mewujudkanya.
Bangsa Indonesia lahir
menurut cara dan jalan yang ditempuhnya sendiri yang merupakan hasil antara
proses sejarah di masa lampau, tantangan perjuangan dan cita-cita hidup di masa
yang akan datang, yang secara keseluruhan membentuk kepribadianya sendiri. Oleh
karena itu bangsa Indonesia
lahir dengan kepribadianya sendiri, yang bersamaan dengan lahirnya bangsa dan
Negara itu, kepribadian itu ditekankan sebagai pandangan hidup dan dasar Negara
Pancasila.
Karena pancasila sudah
merupakan pandangan hidup yang berakar dalam kepribadian bangsa, maka ia
diterima sebagai Dasar Negara yang mengatur hidup ketatanegaraan. Hal ini
tampak dalam sejarah bahwa meskipun dituangkan dalam rumusan yang agak berbeda,
namun dalam tiga buah UUD yang pernah kita miliki yaitu dalam pembukaan
UUD 1945, Mukadimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan UUD sementara
Republik Indonesia tahun 1950 pancasila itu tetap tercantum di dalamnya.
3. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa
Pandangan hidup merupakan
wawasan atau cara pandang mereka untuk memenuhi kehidupan di dunia dan bekal di
hari akhir. Bangsa Indonesia
yang terdiri dari suku bangsa tersebut, meyakini adanya kehidupan di dunia dan
hari akhir. Berdasarkan hal tersebut kita menemukan persamaan pandangan hidup
di antara suku-suku bangsa di tanah air ini, ialah keyakinan mereka adanya dua
dunia kehidupan.
Pancasila memberikan
pancaran dan arah untuk setiap orang Indonesia tentang masa depan
yang ditempuhnya. Inilah pandangan hidup bangsa Indonesia sebagaimana tertuang
dalam kelima Sila Pancasila.
C. Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
1. Apakah Dasar Negara Republik Indonesia?
Pancasila yang dikemukakan
dalan sidang I BPPK pada tanggal 1 Juni 1945 adalah dikandung maksud untuk
dijadikan dasar dari Negara Indonesia Merdeka. Adapun dasar itu haruslah
merupakan suatu falsafah yang menyimpulkan kehidupan dan cita-cita bangsa dan
Negara Indonesia
yang merdeka. Di atas dasar itulah akan didirikan gedung Republik Indonesia
sebagai perwujudan kemerdekaan politik yang menuju kepada kemerdekaan ekonomi,
sosial dan kebudayaan.
Peraturan-peraturan selanjutnya
yang disusun untuk mengatasi dan menyalurkan persoalan-persoalan yang timbul
berhubung dengan penyelenggaraan dan perkembangan Negara harus didasarkan atas
dan berpedoman pada UUD. Peraturan-peraturan yang bersumber pada UUD itu
disebut peraturan-peraturan organik, yang menjadi pelaksana dari UUD.
Oleh karena pancasila
tercantum dalam UUD 1945 dan bahkan menjiwai seluruh isi peraturan dasar
tersebut yang berfungsi sebagai dasar Negara sebagaimana tercantum jelas dalam
alinea ke IV pembukaan UUD 1945 tersebut, maka semua peraturan
perundang-undangan di Republik Indonesia yang dikeluarkan oleh Negara dan
pemerintah RI haruslah pula sejiwa denga pancasila. Isi dan tujuan dari
peraturan perundang-undangan RI tidak boleh menyimpang dari jiwa pancasila.
2.
Pancasila Sebagai Dasar Negara
Keputusan dalam sidang PPKI
pada tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan Undang-Undang Dasar bagi Negara
Republik Indeonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Undang-Undang Dasar tersebut
ialah UUD 1945. Dalam pembukaan UDD tersebut kita temukan dasar Negara
“Pancasila”. Oleh karena itu, secara yuridis pancasila sah menjadi Dasar Negara
Republik Indonesia.
Akibat hukum dari disahkanya pancasila sebagai dasar Negara, maka seluruh
kehidupan bernegara dan bermasyarakat haruslah didasari oleh Pancasila.
Landasan hukum Pancasila sebagai dasar Negara dapat memebri akibat hukum dan
filosofis; yakni kehidupan bernegara bangsa ini haruslah berpedoman pada
pancasila.
D. Pancasila Sebagai Ideologi Negara
1. Pengertian Ideologi
Ideologi berasal dari kata
yunani yaitu iden yang berarti melihat, atau idea yang berarti raut muka,
perawakan, gagasan buah pikiran dan kata logi yang berarti ajaran. Dengan
demikian ideologi adalah ajaran atau ilmu tentang gagasan dan buah pikiran atau
science des ideas (AL-Marsudi, 2001:57). Puspowardoyo (1992 menyebutkan bahwa
ideologi dapat dirumuskan sebagai komplek pengetahuan dan nilai secara
keseluruhan menjadi landasan seseorang atau masyarakat untuk memahami jagat
raya dan bumi seisinya serta menentukan sikap dasar untuk mengolahnya.
Berdasarkan pemahaman yang dihayatinya seseorang dapat menangkap apa yang
dilihat benar dan tidak benar, serta apa yang dinilai baik dan tidak
baik.
Pancasila merupakan satu
ideologi yang dianut oleh Negara atau pemerintah dan rakyat Indonesia
secara keseluruhan, bukan milik atau monopoli seseorang ataupun sesuatu
golongan tertentu. Sebagai filsafat atau dasar kerohanian Negara, yang
meruapakn cita-cita bangsa, Pancasila harus dilaksanakan atau diamalkan, yang
mewujudkan kenyataan dalam penyelenggaraan hidup kenegaraan kebangsaan dan
kemasyarakatan kita. Bila terjadi kesenjangan dalam kehidupan kenegaraan dan
kemasyarakatan, kita harus kembali kepada filsafat Negara Republik Indonesia
untuk mencari jalan keluarnya atau untuk meluruskan kembali.
E. Pancasila Sebagai Sumber Moral bangsa
1.
Moral Negara
Penetapan Pancasila sebagai
dasar Negara mengamanatkan bahwa moral Pancasila juga sebagai moral Negara,
artinya Negara tunduk pada moral, Negara wajib mengamalkan moral
Pancasila. Seluruh tindakan kebijakan Negara harus sesuai dengan
Pancasila. Seluruh perundang-undangan harus mengacu pada pancasila. Nilai-nilai
Pancasila menjadi pembimbing dalam pembuatanpolicy. Sebagai moral Negara,
Pancasila mengandung kewajiban-kewajiban moral bagi Negara Indonesia,
yaitu antara lain:
·
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
·
Sila Kemanusiaan Yang Adil
dan Beradab.
·
Sila Persatuan Indonesia.
·
Sila Kerakyatan Yang
Dipimpin OLeh Hikmat Kebijaksanaanm Dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
F. Penjabaran Nilai-Nilai Dari Pancasila.
1. Pengertian Nilai Pendidikan
Pancasila adalah pendidikan
nilai-nilai yang bertujuan membentuk sikap positif manusia sesuai dengan
nilai-nila yang terkandung dalam Pancasila. Menilai berarti menimbang yaitu
kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu untuk selanjutnya
mengambil keputusan. Keputusan nilai dapat mengatakan “berguna atau tidak
berguna, benar atau tidak benar, baik ataua tidak baik, religius atau tidak
religius dan lain sebagainya. Sesuatu dikatakan mempunyai nilai apabila sesuatu
itu berguna, berharga (nilai kebenaran), indah (nilai estetis), baik (nilai
moral dan etis), religius (nilai agama). Notonegoro
berpendapat membagi nilai menjadi 3 bagian yaitu:
a. Nilai
meteril yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsure manusia.
b. Nilai vital
yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan
dan aktifitas.
c. Nilai kerohanian yaitu segala sesuatu yang berguna
bagi rohani manusia
2. Nilai-Nilai Pada Pancasila
a. Sila Ketuhanan Yang Maha
Esa
Dengan adanya
dasar Ketuhanan maka Indonesia
mengakui dan percaya pada adanya Tuhan. Tuhan Yang Maha Esa, yang menjadi sebab
adanya manusia dan alam semesta serta segala hidup dan kehidupan di dalamnya. Dasar
ini menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk Indonesia untuk memeluk
agamanya/kepercayaanya, sebagaimana tercantum dalam pasal 29 UUD 1945
b. Sila Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab
Internasionalisme
ataupun peri kemanusiaan adalah penting sekali bagi kehidupan sesuatu bangsa
dalam Negara yang merdeka dalam hubunganya dengan bangsa-bangsa lain. Manusia
adalah makhluk Tuhan, dan Tuhan tidak mengadakan perbedaan antara sesama
manusia. Pandangan demikian menimbulkan pandangan yang luas, tidak terikat oleh
batas-batas Negara atau bangsa sendiri, melainkan Negara harus selalu membuka
pintu bagi persahabatan dunia atas dasar persamaan derajat.
c. Sila Persatuan Indonesia
Dengan dasar
kebangsaan (nasionalisme) dimaksudkan bahwa bangsa Indonesia seluruhnya harus memupuk
persatuan yang erat antara sesama warga, tanpa membeda-bedakan suku atau
golongan serta berdasarkan satu tekad yang bulat dan satu cita-cita bersama.
Prinsip kebangsaan itu merupakan ikatan yang erat antara golongan dan suku
bangsa.
d. Sila Kerakyatan Yang
Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/ Perwakilan
Dasar mufakat,
kerakyatan atau demokrasi menunjukan bahwa Negara Indonesia menganut paham demokrasi.
Paham demokrasi berarti bahwa kekuasaan tertinggi (kedaulatan) untuk mengatur
Negara dan rakyat terletak di tangan seluruh rakyat. Dalam UUD 1945 menyatakan
bahwa “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Perwakilan”. Kerakyatan yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD
1945 adalah sebagai berikut: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan. Demokrasi Indonesia seperti yang tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945 adlah demokrasi yang tercantum dalam pancasila sebagai
sila ke empat dan dinamakan demokrasi pancasila. Asas demokrasi di Indonesia
ialah demokrasi berdasarkan pancasila yang meliputi bidang-bidang politik,
sosial dan ekonomi, serta yang dalam
penyelesaian masalah-masalah nasional berusaha sejauh mungkin menmpuh jalan
permusyawaratn untuk mencapai mufakat.
e. Sila Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia
Dalam pidato 1 Juni 19945 ditegaskan bahwa prinsip
kesejahteraan adalah prinsip tidak adanya kemiskinan di alam Indonesia Merdeka.
Keadilan sosial adalah sifat masyarakat adil dan makmur, kebahagiaan buat semua
orang, tidak ada penghisapan, tidak ada penindasan, dan penghinaan,
semuanya bahagia, cukup sandang dan pangan. Sila ini secara bulat berarti bahwa
setiap rakyat Indonesia
mendapat perlakuan yang adil dalam bidan hukum, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan.
G. Dasar Pemikiran Pendidikan Pancasila
Rakyat Indonesia melalui
majelis perwakilanya menyatakan bahwa pendidikan
nasional yang beakar pada kebudayaan bangsa Indonesia diarahkn untuk
“meningkatkan kecerdasan bangsa, harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia
serta masyrakat Indonesia yang beriman serta bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan mandiri,sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekeklilingnya
serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas
pembangunan bangsa”.
H.
Arah Pendidikan Pancasila
Pendidikan Pancasila adalah
pendidikan nilai. Oleh sebab itu arah pendidikan Pancasila ditekankan pada
pendidkan moral yang diharapkan dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari
berupa perilaku yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila. Artinya nilai-nila
Pancasila dijadikan landasan moral dalam setiap kegiatan pribadi, kelompok,
masyarakat dan juga bangsa bahkan Negara.
I. Pancasila Sebagai
Paradigma Kehidupan Dalam Masyarakat Berbangsa dan Bernegara.
1. Pola Pelaksanaan
Pancasila
Untuk
melaksanakan Pancasila perlu usaha yang dilakukan secara berencana dan terarah
berdasarkan suatu pola. Tujuannya adalah agar Pancasila sungguh-sungguh
dihayati dan diamalkan oleh segenap warga Negara, baik dalam kehidupan orang
seorang maupun dalam kehidupan kemasyarakatan. Berdasarkan pola itu diharapkan
lebih terarah usaha-usaha
·Pembinaan manusia Indonesia agar menjadi insan
pancasila
·Pembangunan bangsa untuk
mewujudkan masyarakat pancasila
2. Jalur
media massa.
Walaupaun pola
pelaksanaan Pancasila melalui jalur medua massa
dapat pula digolongkan sebagai salah satu aspek jalur pendidikan dalam arti
luas, namun peranan media massa
sedemikian pentingnya sehingga perlu mendapat penonjolanya sebagai jalur tersendiri.
Dalam hubunganya dengan ini, ditekankan pula pentingnya media tradisional
seperti pewayangan serta bentuk-bnetuk seni rakyat lainya, di samping media
modern seperti pers, radio dan televisi. Dalam menggunakan komunikasi modern
ini perlu dijaga agar terhindar dari siaran yang tidak menguntungkan bagi
pelaksanaan pancasila.
3. Jalur organisai sosial politik, organisasi sosial kemasyarakatan, dan
prangkat sosial.
Sesuai dengan
tekad untuk menjunjung tinggi demokrasi dan menegakan kehidupan konstitusional,
maka kiranya semua anggota maupun kader-kader politik, serta organisasi
kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga keagamaan, lembaga
kebudayaan, dan dunia usaha, hendaklah berusaha sekuat tenaga ikut serta dalam
melaksanakna Pancasila, sehingga Pancasila itu lestari di Republik indionesia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pancasila adalah dasar
Negara Republik Indonesia,
ideologi Negara Indonesia,
sekaligus menjadi pandangan hidup bangsa. Pancasila juga merupakan sumber
kejiwaan masyarakat dan negara Republik Indonesia. “Makalah PKn Pancasila” Maka manusia Indonesia menjadikan pengamalan
Pancasila sebagai perjuangan utama dalam kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan
kengaraan. Oleh karena itu pengalamannya harus dimulai dari setiap warga negara
Indonesia,
setiap penyelenggara negara yang secara meluas akan berkembang menjadi
pengalaman Pancasila oleh setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan,
baik dipusat maupun di daerah.
Di dalam Pancasila
terkandung nilai-nilai luhur, ajaran-ajaran moral yang kesemuanya itu
meruapakan peljelmaan dari seluruh jiwa manusia Indonesia. Menyadari bahwa untuk
kelestarian nilai-nilai pancasila itu perlu diusahakan secara nyata dan
terus-menerus pengahayatan dan pengamalan nila-nilai luhur yang terkandung di
dalamnya, oleh sebab itu setiap warga Negara Indonesia, penyelenggara Negara,
serta lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan baik di pusat maupun di
daerah harus sama-sama mengamalkan nilai-nilai Pancasila demi kelestarianya.
DAFTAR PUSTAKA
1
Kansil C.S.T, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: PT pradnya
paramita
2
Pangeran Alhaj S.T.S dan Surya Partia Usman, 1995. Materi
Pokok Pendekatan Pancasila. Jakarta;
Universitas Terbuka Depdikbud.
3
Setiady Elly M, Panduan Kuliah Pendidikan Pancasila, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
4
Tanpa Nama.Tanpa Tahun. Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila. Sekretariat Negara Republik Indonesia Tap MPR No. II/MPR/1987.
5
UU Nomor 32 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasioanal
Langganan:
Postingan (Atom)